Jumat, 18 Desember 2015

Budaya Perjodohan Di Jepang “OMIAI”

omiai_jodoh3
Dulu, perjodohan atau kasarnya kita sebut sebagai kawin paksa lumrah dilakukan di berbagai belahan dunia. Tujuan utama dari praktek tersebut adalah melanjutkan garis keturunan, dan membentuk sebuah ikatan antara dua keluarga yang berbeda. sebuah pernikahan yang didasarkan saling cinta kini menjadi norma utama yang berlaku di banyak negara. Jepang pun tidak begitu berbeda dengan negara lainnya, namun untuk berbagai alasan 30-40% orang di sana memilih cara ‘Omiai’ sebagaimana partner pernikahan memilihkan pasangan untuk seseorang untuk dinikahi.

omiai_jodoh
Secara tradisional perkiraan usia untuk seorang menikah di Jepang adalah 25 tahun untuk wanita dan 30 tahun untuk lelaki. Namun, usia untuk melakukan pernikahan kini telah bergeser dan jumlahnya semakin meningkat, menjadi 29 tahun untuk wanita dan 31 tahun untuk lelaki. selain jumlahnya meningkat, tekanan sosial yang kuat terjadi pada mereka yang memiliki usia di akhir 20 dan 30-an untuk menikah juga memiliki keluarga. Bahkan telah terjadi pembicaraan tentang lelaki yang sudah menikah, mereka akan menjadi karyawan yang lebih diinginkan perusahaan di Jepang (gampang mencari pekerjaan). Jadi, apa yang harus anda lakukan ketika belum menemukan cinta sejati anda, meskipun usia sudah di akhir 30-an atau bahkan 40, dan anda tidak ingin berakhir sendirian?

Itulah dimana saat omiai agency atau partner perjodohan dibutuhkan, secara harfiah ‘omiai’ memiliki arti “melihat-bertemu”, melihat apakah pasangan yang dipilihkan serasi dengan anda atau tidak, dan jika jawabannya bersifat positif anda akan dinikahkan, biasanya setelah beberapa bulan dari pertemuan pertama.
Ketika mendaftar di sebuah agen pencarian jodoh, yang harus dilakukan adalah mengisi profil anda lalu melihat-lihat seorang single yang memenuhi persyaratan anda di buku-buku yang terdapat di agen tersebut. tak jarang praktek perjodohan ini dilakukan oleh kerabat atau orang terdekat dari sang pencari pasangan pernikahan, biasanya dilakukan oleh para ibu. Saat kecocokan telah ditentukan, sebuah pertemuan singkat diadakan. Subjek seringkali gugup dan biasanya ditemani oleh ibu juga ayahnya, sebagaimana di Jepang bukan hanya kecocokan dengan calon yang penting tetapi juga dengan keluarganya.
omiai_jodoh1
Setelah pertemuan pertama, yang biasanya tidak memerlukan lebih dari pertukaran informasi dasar dan berbasa-basi, keputusan dibuat apakah akan dilanjutkan atau tidak. Jika dilanjutkan, beberapa tanggal ditetapkan dalam rangka untuk mengenal satu sama lain sedikit lebih baik. Kemudian pasangan akan mengikat simpul dalam sebuah pernikahan beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah pertemuan pertama.

Happily Ever After?
Melihat keduanya datang dari latar belakang budaya yang berbeda, yang menjadi pertanyaan adalah apakah mereka bahagia? Bukankah ini secara tidak langsung meningkatkan angka perceraian? Jawabannya adalah tidak. Faktanya tingkat perceraian dari pasangan yang dipertemukan omiai lebih rendah dibandingkan mereka yang menikah atas dasar cinta yang ditemukan sendiri. Hal ini sebenarnya tidak terlalu mengada-ada dalam masyarakat seperti di Jepang, di mana cinta dipandang sebagai sesuatu yang dapat dirasakan sangat kuat, tetapi juga mudah menguap dan bisa cepat berlalu. Apa pendapatmu? Apakah budaya ‘omiai’ atau perjodohan seperti di Jepang dapat dilakukan di Indonesia? apakah praktek tersebut dapat lebih berhasil dari online dating dan perjodohan lain umumnya?

Sumber: www.anibee.tv, j-cul.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar